kebudayaan
suku asmat

Suku
Asmat adalah salah satu suku dari 315 suku asli/pribumi Tanah Papuayang hidup
di dua wilayah, yakni (a)wilayah pesisir pantai selatan Papua atau di tepi
sungai, kehidupan keseharian mereka suka mencari ikan, meramu (menokok sagu)
dan berburu serta (b) di wilayah pedalaman yaitu masyarakat asmat yang
hidup di daerah rawa-rawa dan sungai serta danau, mereka suka mencari ikan,
nelayan, meramu(menokok sagu) dan namun tidak bercocok tanam. Barangkali karena
tinggal di dua wilayah yang berbeda sehingga mereka memiliki perbedaan dialek
bahasa, cara hidup, strata sosial dan pesta ritual.
Terlepas
dari dua perbedaan di atas, suku Asmat sendiri sebenarnya terdiri dari dua
belas sub suku, yakni: Joirat, Emari Ducur, Bismam, Becembub, Simai, Kenekap,
Unir Siran, Unir Epmak, Safan, Armatak, Brasm dan Yupmakcain. Pembagian sub
suku ini terjadi dalam lingkungan masyarakat Asmat sendiri akibat tempat
tinggal, kiat menyikapi lingungan serta persebaran masing-masing kelompok
masyarakat dalam suku Asmat.
Sedangkan kata
Asmat itu sendiri bermakna manusia kayu atau pohon. Versi kedua
mengenai makna kayu adalah masyarakat Asmat meyakini bahwa yang pertama kali
muncul di permukaan bumi adalah pohon-pohonan. Pohon-pohon itu adalah ucu
(beringin) dan pas (kayu besi), yang diyakini sebagai perwujudan dua mama tua
yaitu Ucukamaraot (roh beringin) dan Paskomaraot (roh kayu besi). Barang kali
keyakinan mistis inilah yang memberikan kesan bahwa ukiran atau pahatan kayu
yang dibuat orang Asmat itu sangat ‘berjiwa’.
Ø
Kondisi Geografis Asmat dan data
Geografi Kabupaten Asmat
Wilayah
yang mereka diami sangan unik. Dataran coklat lembek yang tertutup oleh jaring
laba-laba sungai. Di bagian utara, kaki Pegunungan Jayawijaya atau kabupaten
Puncak Jaya dan Nduga Jaya, Bagian timur kabupaten Mappi dan Merauke bagian
selajatan Lautan Arafura serta bagian barat dengan Kabupaten Mimika.
Wilayah
yang didiami oleh Suku Asmat ini telah menjadi Kabupaten sendiri dengan nama
KABUPATEN Asmat dengan 7 kecamatan atau Distrik. Hampir semua wilayahnya berada
di tanah berawa. Hampir setiap hari hujan turun dengan curah 3.000-4.000
milimeter per tahun. Setiap hari juga pasang surut laut masuk ke wilayah ini,
sehingga tidak mengherankan kalau permukaan tanah sangat lembek dan berlumpur.
Jalan hanya dibuat dari papan kayu yang ditumpuk di atas tanah lembek. Praktis
tidak semua kendaraan bermotor bisa melalui jalan ini. Orang yang berjalan
harus berhati-hati agar tidak terpeleset, terutama saat hujan.
Ø Rumah
Tradisional
Menurut tradisi orang Asmat, dalam sebuah kampung terdapat 2
macam bangunan, yaitu rumah bujang dan rumah keluarga. Rumah keluarga, biasanya
didiami oleh satu keluarga inti yang terdiri dari seorang ayah, seorang atau
beberpa istri, dan anak-anaknya. Setiap istri memiliki dapur, pintu, dan tangga
sendiri. Lima tahun sekali, rumah-rumah tersebut diperbaharui oleh kaum pria.
Perumahan yang dibangun menyerupai rumah panggung, kira-kira satu setengah
meter dari atas tanah. Atap rumah terbuat dari anyaman daun sagu, gaba-gaba
sagu membentuk dinding rumah, dan lantai tertutupi tikar yang terbuat dari daun
sagu juga.
Rumah bujang (jew) ditempati oleh pemuda-pemuda yang belum
menikah dan tidak boleh dimasuki oleh kaum wanita dan anak-anak. Rumah yang
terdiri dari satu ruangan ini dibangun di atas tiang-tiang kayu dengan panjang
30-60 meter dan lebar sekitar 10 meter. Rumah ini biasa digunakan untuk
merencanakan suatu pesta, perang, dan perdamaian. Pada waktu senggang, rumah
ini digunakan untuk menceritakan dongeng-dongeng suci para leluhur. Setiap clan
memiliki rumah bujang sendiri.
Kemudian,
di hutan orang Asmat biasa mendirikan semacam rumah besar, bernama bivak. Bivak
merupakan tempat tinggal sementara bagi orang Asmat disaat mereka mencari bahan
makanan di hutan.
Di
dalam rumah adat suku Asmat ini juga tersimpan persenjataan suku Asmat seperti,
tombak, panah untuk berburu, dan Noken. Noken adalah serat tumbuhan
yang dianyam menjadi sebuah tas. Tidak sembarang orang boleh menyentuh
noken yang disimpan di dalam rumah adat suku Asmat ini. Noken ini
dipercaya dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Ada syarat dan terapi-terapi
tertentu yang harus dipatuhi pasien dan dipastikan sembuh.
Seorang
suku asmat di rumah bujang tersebut menceritakan bahwa pasien yang berobat
secara adat, asal mematuhi aturan-aturan tersebut, kelak akan sembuh dalam
waktu singkat.
Berikut
beberapa hal menyangkut rumah adat suku Asmat (Jew) :
·
Rumah adat suku Asmat yang dibuat dari
kayu ini selalu didirikan menghadap ke arah sungai.
·
Panjang rumah adat suku Asmat ini bisa
berpuluh-puluh meter. Bahkan ada Jew yang panjangnya bisa sampai lima puluh
meter dengan lebar belasan meter.
·
Sebagai tiang penyangga utama rumah
adat suku Asmat, mereka menggunakan kayu besi yang kemudian diukir dengan seni ukir
suku Asmat
·
Mereka tidak menggunakan paku atau
bahan-bahan non alami lainnya, tapi orang Asmat menggunakan bahan-bahan dari
alam seperti tali dari rotan dan akar pohon.
·
Atap rumah adat suku Asmat ini terbuat
dari daun sagu atau daun nipahyang telah dianyam. Biasanya warga
duduk beramai-ramai menganyamnya sampai selesai.
·
Jumlah pintu jew sama dengan jumlah
tungku api dan patung bis. Patung Bis mencerminkan gambaran leluhur
dari masing-masing rumpun suku Asmat. Mereka percaya patung- patung ini akan
menjaga rumah mereka dari pengaruh jahat.Jumlah pintu ini juga dianggap
mencerminkan jumlah rumpun suku Asmat yang berdiam di sekitar rumah adat suku
asmat.
Setelah
rumah Jew berdiri, para lelaki biasanya pergi berburu menggunakan perahu
Chiuntuk memenggal kepala musuh. Suku Asmat memiliki keunikan dalam mendayung
perahu Chi yang bentuknya menyerupai lesung, yang terbuat dari pohon
ketapang rawa, panjang sebuah chi bisa mencapai dua belas meter. Untuk
membuatnya diperlukan waktu satu sampai dua minggu. Dayungnya terbuat dari kayu
pala hutan dan bentuknya menyerupai tombak panjang. Sebagian perahu Chi diberi
ukiran ular di tepinya serta ukiran khas Asmat di bagian kepalanya.
Ular
merupakan simbol hubungan antara suku asmat dengan alam. Perahu menjadi alat
yang penting bagi mereka untuk mencari ikan sepanjang hari. Mengambil sagu,
berburu buaya, berdagang, bahkan berperang. Dengan perahu ini, mereka bisa
melintasi sungai hingga puluhan kilometer. Kedekatan suku Asmat dengan perahu
kini menjadi atraksi menarik.
Atraksi
ini menggambarkan bagaimana suku Asmat berperang. Namun semenjak misionaris
datang sekitar tahun lima puluhan, perang antar suku sudah tidak ada.
Saat kembali, tetua adat akan menyambut mereka, menanyakan jumlah musuh yang
berhasil dibunuh. Pesta pengukuhan rumah Jew dilakukan sepanjang malam. Mereka
menari dan bernyanyi diiringi pukulan alat musik tradisonal Papua, Tifa.
Dengan melakukan atraksi ini,
orang suku Asmat percaya, roh para leluhur mereka akan datang dan akan menjaga
rumah mereka.
Jew
adalah salah satu bagian dari nilai-nilai suku asmat yang melihat rumah sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Suku Asmat, selain itu pandai
membuat ukiran dan memahat yang sarat simbol leluhur mereka.
Ø Pakaian
Tradisional Suku Asmat
Suku
Papua di Irian Jaya memiliki beberapa keunikan yang begitu istimewa, adat
istiadat, bahasa, dan terlebih pakaian adatnya. Baju adat Irian Jaya, Suku
Asmat, adalah koteka. Koteka biasa dikenakan oleh kaum lelaki yang tinggal di
sekitar wilayah Wamena.Koteka terbuat dari kulit labu yang panjang dan sempit,
berfungsi untuk menutup bagian alat reproduksi kaum lelaki. Penggunaannya
diikatkan pada tali yang melingkar di pinggang.
Busana Tradisional ini hanya
menutup bagian alat reproduksi. Jadi, bisa dipastikan tidak ada penutup lain
untuk badan. Mungkin karena inilah banyak Suku Papua yang berkulit hitam.
Namun, karena iklim yang begitu panas, tidak salah jika pakaian adatnya begitu
sederhana.
Pakaian
untuk para wanitanya hampir sama dengan kaum pria. Mereka hanya menutup bagian
tubuh di sekitar organ reproduksi. Mereka mengenakan pakaian seperti rok dari
bahan akar tanaman kering yang dipilin atau dirajut seperti benang-benang kasar
yang dijadikan sebagai bawahan atau bisa dikatakan seperti rok yang menutup
badan mereka.
Perempuan
Suku Asmat bertelanjang dada, sama persis seperti para lelakinya. Mereka sudah
terbiasa dengan hal ini sehingga tidak melanggar norma-norma kesusilaan seperti
layaknya di daerah lain.Anda tentu masih ingat pepatah di mana bumi diinjak di
sana langit dijunjung?
Di
mana kita berada, kita harus menghormati adat-istiadat dan budaya dari daerah
tersebut.
Sayangnya
beberapa tahun terahkir, perkembangan teknologi dan modernisasi akhirnya masuk
dan mempengaruhi kebudayaan masyarakat suku Asmat. Hal tersebut mengakibatkan
semakin sedikitnya Suku Asmat yang masih menggunakan pakaian adat mereka.
Banyak dari mereka yang menggunakan baju dan celana jeans sama seperti
kebanyakan orang di dunia.
Ø Transportasi
Masyarakat Asmat mengenal perahu lesung sebagai alat transportasinya. Pembuatan
perahu dahulunya digunakan untuk persiapan suatu penyerangan dan pengayauan
kepala. Bila telah selesai, perahu tersebut dicoba menuju ke tempat musuh dengan
maksud memanas-manasi musuh dan memancing suasana musuh agar siap berperang.
Selain itu, perahu lesung juga digunakan untuk keperluan pengangkutan dan
pencarian bahan makanan.
Setiap
5 tahun sekali, orang-orang Asmat membuat perahu-perahu baru. Walaupun daerah
Asmat kaya akan berbagai jenis kayu, namun pembuatan perahu mereka memilih
jenis kayu khusus yang jumlahnya tidak begitu banyak. Yang digunakan adalah
kayu kuning (ti), ketapang, bitanggur atau sejenis kayu susu yang disebut
yerak.
Setelah pohon dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua
ujungnya, batang itu telah siap dibawa ke tempat pembuatan perahu. Untuk
membuat perahu dibutuhkan waktu kurang lebih 5 minggu. Proses pembuatan perahu
dari bentuk batang hingga selesai diukir dan dicat meliputi beberapa tahap.
Pertama, batang yang masih kasar dan bengkok diluruskan. Setelah bagian dalam
digali, dihaluskan dengan kulit siput, sama halnya dengan bagian luar. Bagian
bawah perahu dibakar supaya perahu menjadi ringan dan laju jalannya. Bagian
muka perahu disebut cicemen, diukir menyerupai burung atau binatang lainnya
perlambang pengayauan kepala. Atau ukiran manusia yang melambangkan saudara
yang telah meninggal. Perahu kemudian dinamakan sesuai dengan nama saudara yang
telah meninggal itu. Panjang perahu mencapai 15-20 meter. Setelah semua ukiran
dibuat di perahu maka perahu pun di cat. Bagian dalam dicat putih, bagian luar
dicat putih dan merah. Setelah itu perahu dihiasi dengan dahun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu harus diresmikan melalui upacara.
Ada
2macam perahu yang biasa digunakan, yaitu perahu milik keluarga yang tidak
terlalu besar dan memuat 2-5 orang dengan panjang 4-7 meter. Sedangkan perahu
clan biasa memuat antara 20-20 orang dengan panjang 10-20 meter.
Dayung terbuat dari kayu yang tahan lama, misalnya kayu besi. Karena dipakai
sambil berdiri, maka dayung orang Asmat sangat panjang ukurannya. Benda ini
wajib dimiliki oleh setiap orang Asmat karena daerah tempat tinggal banyak
dikelilingi dengan rawa-rawa.
Ø Alat
musik
Alat musik yang biasa digunakan oleh orang Asmat adalah tifa yang terbuat dari
selonjor batang kayu yang dilobangi. Pahatan tifa berbentuk pola leluhur atau
binatang yang dikeramatkan. Pada bagian atas dibungkus dengan kulit kadal dan kulit
tersebut diikat dengan rotan yang tahan api. Tifa biasanya diberi nama sesuai
dengan orang yang telah meninggal.
Ø
Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian hidup orang PAPUA di daerah
pantai adalah meramu sagu, berburu binatang kecil, (yang terbesar adalah babi
hutan), dan mencari ikan di sungai, danau, maupun pinggir pantai. Mereka juga
terkadang menanam buah-buahan dan tumbuhan akar-akaran. Kadang mereka juga
dengan sengaja menanamnya di kebun-kebun ekcil yang sederhana berada di
tengah-tengah hutan. Orang Asmat hulu yang tinggal di daerah yang tak ada pohon
sagunya lagi, lebih menggantungkan hidupnya pada kebun-kebunnya. Peternakan: Babi merupakan prestise dan
melambangkan status sosial seseorang. bisa menyebalkan pecahnya perang suku,
dan binatang ini juga berperan sebagai mas kawin (uang mahar). Mata
pencaharian utama mereka adalah bercocok tanam di ladang.Tanaman utama
sekaligus makanan pokok adalah Hipere atau ubi jalar.
Ø Alat-alat
Produktif
Orang
Asmat telah memiliki peralatan serta cara untuk mempertahankan hidupnya. Mereka
telah memiliki kemampuan untuk membuat jaring sendiri yang terbuat dari anyaman
daun sagu. Jaring tersebut digunakan untuk menjaring ikan di muara sungai.
Caranya pun sederhana sekali, yaitu dengan melemparkan jaring tersebut ke laut
untuk kemudian ditarik bersama-sama. Pekerjaan ini tidaklah mudah karena di
muara sungai terdapat lumpur yang sangat banyak dan memberatkan dalam penarikan
jaring. Oleh karena itu, jala ditambatkan saja pada waktu air pasang dan
kemudian ditarik pada air surut.
Untuk membuat suatu karya kesenian, orang Asmat juga mengenal alat-alat
tertentu yang memang sengaja digunakan untuk membuat ukir-ukiran. Alat-alat
sederhana seperti kapak batu, gigi binatang dan kulit siput yang bisa digunakan
oleh wow-ipits untuk mengukir. Kapak batu merupakan benda yang sangat berharga
bagi orang Asmat sehingga kapak yang hanya bisa didapatkan melalui pertukaran
barang itu diberi nama sesuai dengan nama leluhurnya, bisanya nama nenek dari
pihak ibu. Dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat sekarang sudah
menggunakan kapak besi dan pahat besi. Kulit siput diganti dengan pisau. Untuk
menghaluskan dan memotong masih digunakan kulit siput.
Ø Senjata
Perisai digunakan oleh orang Asmat untuk melindungi diri dari tombak dan panah
musuh dalam peperangan. Pola ukiran pada perisai melambangkan kejantanan.
Senjata ini terbuat dari akar besar pohon bakau atau kayu yang lunak dan
ringan.
Ujungya yang tajam dilengkapi dengan penutup yang terbuat dari paruh burung
atau kuku burung kasuari.
Ø Makanan
Orang-orang Asmat tidak mengenal besi. Selain itu, tidak juga ditemukan tanah
liat pada daerah ini sehingga tidak mengenal barang-barang keramik. Oleh karena
itu, orang-orang Asmat biasa memasak makanannya di atas api terbuka. Berapa
jenis makanan yang biasa dikonsumsi oleh orang Asmat adalah :
a) Makanan pokok (sagu)
Sagu sebagai makan pokok dapat banyak ditemukan di hutan oleh masyarakat Asmat.
Untuk mendapatkan makanan dari pohon sagu, pohon itu harus ditebang, kulitnya
dibuka sebagian, dan isinya ditumbuk hingga hancur. Kemudian, isi tersebut
dipindahkan ke dalam suatu saluran air sederhana yang terbuat dari daun sagu
untuk dibersihkan. Tepung sagu yang diperoleh diolah menjadi adonan yang
beratnya kira-kira 5 kilogram. Adonan ini kemudian dibakar untuk mendapatkan
bentuk yang semipadat supaya mudah dibawa dan disimpan sampai diperlukan.
Proses pembuatan sagu, mulai dari penebangan pohon hingga terbentuknya adonan
siap masak memakan waktu sehari penuh, dari matahari terbit hingga terbenam.
b) Makanan tambahan
Sebagai makanan tambahan, suku Asmat juga mengumpulkan ulat sagu yang
didapatkan di dalam batang pohon sagu yang sudah membusuk. Ulat sagu yang
merupakan sumber protein dan lemak adalah makanan yang lezat dan bernilai
tinggi bagi mereka. Telur-telur ayam hutan yang ditemukan di pasir delata-delta
yang sering tertutup air pada waktu air pasang juga dikumpulkan. Telur-telur
ini dikumpulkan dan dibungkus dakan daun dan dipanggang hingga keras. Apapun
yang ditemukan di hutan, seperti babi hutan, kuskus, burung, dan segala jenis
daun-daunan yang dapat dimakan, dikumpulkan sebagai tambahan makanan pedamping
sagu.
Orang
Asmat juga memburu iguana (sejenis kadal) untuk mengambil dagingnya yang
kemudian dipanggang dan dimakan. Tikus hutan pun mereka tangkap dan dijadikan
makanan tambahan.
c)
Makanan lainnya
Orang
Asmat pun terkadang memiliki bahan makan lainnya yang tidak setiap harinya ada.
Musuh yang telah mati ditombak saat perang, dibawa pulang ke kampung dengan
perahu lesung panjang diiringi dengan nyanyian. Setiba di kampung, mayatnya
dipotong-potong dan dibagi-bagikan kepada seluruh penduduk untuk dimakan
bersama. Sambil menyanyikan lagu kematian, kepala musuh tersebut dipotong dan
dipanggang, sedangkan otaknya dibungkus dengan daun sagu untuk kemudian
dipanggang.
Ø
Perhiasan
Orang
Asmat juga memiliki beberapa jenis perhiasan yang biasa dikenakan sehari-hari
dalam kehidupannya. Seperti kebanyakan orang, orang Asmat berhias untuk
mempercantik dirinya masing-masing. Sesuai kepercayaan, mereka biasa berhias
dengan menidentikan diri seperti burung. Seperti misalnya titik-titik putih
pada tubuh yang diidentikan pada burung.
Untuk hiasan kepala, mereka menggunakan bulu dari burung kasuari atau kuskus.
Sekeliling matanya diwarnai merah bagaikan mata burung kakatua hitam bila
sedang marah.
Hiasan dahi terbuat dari kulit kuskus, lambang dari si pengayau kepala yang
perkasa. Hiasan-hiasan hidung terbuat dari semacam keong laut, atau
kadang-kadang terbuat dari tulang manusia atau tulang babi.
Anting-anting wanita terbuat dari bulu kuskus. Gigi-gigi anjing diuntai untuk
dijadikan kalung penghias leher. Untuk mendapatkan gigi-gigi itu, anjing
tersebut tidaklah dibunuh, namun ditunggu hingga anjing tersebut mati. Oleh
karena itu, gigi-gigi anjing tersebut dinilai tinggi bagi mereka, dan sering
dijadikan sebagai emas kawin (pomerem) bagi keluarga pihak wanita.
Ø Seni tari
Orang-orang Asmat
kerapkali melakukan gerakan-gerakan tarian tertentu saat upacara sakral
berlangsung. Adanya gerakan-gerakan erotis dan dinamis yang dilakukan oleh kaum
laki-laki dan perempuan di depan rumah bujang (Jew) dalam rangka
upacara mbis.
Agama
Masyarakat
suku Asmat beragama Katolik, Protestan dan Animisme yakni suatu ajaran dan
praktek keseimbangan alam dan penyembahan kepada roh orang mati atau patung.
Bagi
suku Asmat, ulat sagu merupakan bagian penting dalam ritual mereka. Setiap
ritual ini diadakan, dapat dipastikan kalau banyak sekali ulat yang
dipergunakan.
Sumber
Daya Alam
Selain
ikan, cucut, kepiting, udang, teripang, dan cumi-cumi ikan penyu dan hewan air
lainnya yang merinpah ruah, daerah Asmat juga memiliki sumber daya alam yang
aman luar biasa seperti: Kayu, rotan, gaharu, kemiri, kulit masohi, kulit
lawang, damar, dan kemenyan.
Wanita
dalam Pandangan suku Asmat
Simbolisasi
perempuan dengan flora dan fauna yang berharga bagi masyarakat Asmat
(pohon/kayu, kuskus,anjing, burung kakatua dan nuri, serta bakung) seperti
arti kata Asmat di atas, menunjukkan bagaimana sesungguhnya masyarakat Asmat
menempatkan perempuan sebagai makhluk yang sangat berharga bagi mereka. Hal ini
tersirat juga dalamberbagai seni ukiran dan pahatan mereka. Namun dalam gegap
gempitanya serta kemasyuran pahatan dan ukiran Asmat, tersembunyi suatu realita
derita para ibu dan gadis Asmat yang tak terdengar oleh dunia luar.
Derita
perempuan Asmat adalah menjadi pelakon tunggal, dalam menghidupi suku tersebut.
Setiap harinya mereka harus menyediakan makanan untuk suami dan anak-anaknya,
mulai dari mencari ikan, udang, kepiting dan tambelo sampai kepada mencari
pohon sagu yang tua, menebang pohon sagu, menokok, membawa sagu dari hutan
memasak dan menyajikan. Setelah itu mencuci tempat makanan atau tempat masak
termasuk mengambil air dari telaga atau sungai yang jernih untuk keperluan
minum keluarga.
Sementara
itu kegiatan laki-laki Asmat sehari-harinya adalah menikmati makanan yang
disediakan istrinya, mengisap tembakau, dan berjudi. Kadang suami membuat rumah
atau perahu, namun dengan bantuan istri. Ada pula suami yang mau menemani istri
mencari kayu bakar. Sayangnya mereka benar-benar hanya menemani. Mendayung
perahu, menebang kayu, dan membawanya pulang adalah tugas istri. Suami
yang cukup berbaik hati akan membantu membawakan kapak istrinya.
Jika
istri tidak menyiapkan permintaan suaminya seperti sagu atau ikan, maka istri
akan menjadi korban luapan kemarahan. Jika mereka kalah judi, maka istri pula
yang akan dijadikan obyek kekesalan. Mereka yang tinggal di Agats, kini
terbiasa pula untuk mabuk karena minuman keras telah dijual bebas. Saat mereka
mabuk, mereka lebih rentan untuk mengamuk sehingga istri pun akan lebih banyak
menerima tindak kekerasan.
Kamoro Woman
Kadangkala
laki-laki Asmat mengukir jika mereka ingin atau jika hendak menyelenggarakan
pesta. Ketika laki-laki mengukir, maka tugas perempuan akan semakin bertambah.
Perempuan harus terus menyediakan sagu bakar dan makanan lain yang diinginkan
suami mereka agar dapat terus bertenaga untuk mengukir. Semakin lama laki-laki
mengukir, semakin banyak pula jumlah makanan yang harus mereka sediakan. Hal
itu berarti akan semakin lelah perempuan Asmat karena harus memangur, meramah,
dan mengolah sagu, dan bahkan menjaring ikan. Lebih tragisnya lagi, jika ukiran
itu dijual maka uangnya hanya untuk suami yang membuatnya. Perempuan Asmat
tidak menerima imbalan apapun untuk jerih payahnya menyediakan makanan. Padahal
tanpa makanan itu, satu ukiran pun tidak akan selesai dibuat.
Ø Bencana Asmat
Bencana
bagi suku Asmat kurang lebih ada 3 yakni: (a) penyakit malaria, (b)buaya,
(c)HIV/AIDS. Setelah virus HIV-AIDS marak di Asmat dan mulai merenggut korban
jiwa, semakin bertumpuk daftar persoalan yang harus dihadapi pemda dan seluruh
masyarakat Asmat. Sebagai sebuah kabupaten baru yang tengah sibuk-sibuknya
melakukan pembenahan infrastruktur dan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam
rangka menyelenggarakan sebuah pemerintah baru, dalam berbagai aspek,
berjangkitnya HIV-AIDS ini merupakan sebuah pukulan telak yang bakal menyedot
dana, waktu, tenaga dan pikiran dari segenap komponen masyarakat Asmat,
instansi-instansi terkait dalam jajaran pemerintahan Kabupaten Asmat khususnya
dan sudah pasti butuh pemerintah pusat perlu segera mengambil langkah-langkah
penanggulangannya.
Ukiran Kayu Suku
Asmat
Karya ukir kayu khas Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang
sudah memiliki nama bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat
mempunyai pola yang unik dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat
kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi
dan cukup banyak diminati para turis asing.
Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia,
perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat
biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola
ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.
Masyarakat Asmat terdiri dari 12 sub etnis, dan masing-masing memiliki ciri
khas pada karya seninya. Begitu juga dengan kayu yang digunakan, ada juga
perbedaannya. Ada sub etnis yang menonjol ukiran patungnya, ada yang menonjol
ukiran salawaku atau perisai, ada pula yang memiliki ukiran untuk hiasan
dinding dan peralatan perang.
Yang paling istimewa dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki
kesamaan atau duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama
dalam skala besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola
tertentu, itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola
sama dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi
soal pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
Ø Adat- Istiadat Suku
Asmat
Dalam
kehidupannya, Suku Asmat memiliki 2 jabatan kepemimpinan, yaitu a. Kepemimpinan
yang berasal dari unsur pemerintah dan b. Kepala adat/kepala suku yang berasal
dari masyarakat.
Sebagaimana lainnya, kapala adat/kepala suku dari Suku Asmal sangat berpengaruh
dan berperan aktif dalam menjalankan tata pemerintahan yang berlaku di
lingkungan ini. Karena segala kegiatan di sini selalu didiihului oleh acara
adal yang sifatnya tradisional, sehingga dalam melaksanakan kegiatan yang
sifatnya resmi, diperlukan kerjasama antara kedua pimpinan ssangat diperlukan
untuk memperlancar proses tersebut.